Terpujilah Nama Yesus
All Hail the Power of Jesus’ Name
(Lagu Penobatan Yesus Kristus)
Kisah Nyata di Balik Lagu Pilihan
Disusun kembali oleh : Andreas Sudarsono,
Doreen Widjana
Diterbitkan dan dicetak oleh : Lembaga Literatur
Baptis (Yayasan Baptis Indonesia)
Adakah lagu yang lebih luhur temanya
daripada lagu yang dikisahkan? Tentu tidak ada. Intisari lagu pilihan ini ialah
penobatan (pengakuan) Yesus Kristus sebagai “Raja segala raja dan Tuan di atas
segala tuan” (Wahyu 19:16). Siapakah pengarang lagu pujian yang agung ini?
Ia
Tidak Mau Terikat
Edward Perronet adalah seorang Inggris
keturunan Peranis. Orang tuanya mengungsi ke Inggris untuk memperoleh kebebasan
beragama. Ketika Edward Perronet lahir, yaitu
pada tahun 1726, ayahnya sudah menjadi seorang pendeta Gereja Inggris. Jadi,
Edward dibesarkan dalam aliran Gereja Negara.
Sama
seperti nenek moyangnya di Perancis dahulu, Edward Perronet tidak mau terikat
dengan agama. Ia hanya mau mengakui satu atasan rohani saja, yaitu Yesus
Kristus.
Ketika
John dan Chrales Wesley mulai mengadakan suatu gerakan pembaruan di kalangan
Gereja Inggris, dengan senang hati Edward Perronet ikut serta. Bahkan ketika
gerakan Wesley itu mulai diserang oleh musuh-musuhnya, Perronet rela menderita
demi keyakinanna. Dalam buku harian John Wesley terdapat catatan ini:
“Edward
Perronet diseret dari kuda tunggangannya dan digulig-gulingkan dalam lumpur. Ia
mengalami banyak siksaan, juga dilumuri banyak kotoran, tetapi semua aniaya itu
diterima dengan penuh ketabahan.”
Walau
Edward Perronet begitu sabar terhadap penganiayan yang timbul karena ia menjadi
pengikut Gerakan Pembaruan Wesley, ia tidak dapat menerima semua ajaran dan
peraturan yang ditetapkan oleh para pemimpin gerakan Wesley. Ia berpendapat
bahwa mereka sebaiknya keluar saja dari Gereja Negara dan membentuk suatu
aliran baru.
John
Wesley tidak setuju. (Anehnya, hal itu dilaksanakan di kemudian hari. Muncullah
Gereja Methodist yang dimulai ole hkedua Wesley bersaudara dan kawan-kawan.)
Karena berselisih pendapat, Edward Perronet akhirnya memutuskan hubungan dengan
Gerakan Wesley. Kemudian ia menggabungkan diri dengan sebuah aliran Kristen
yang lebih kecil.
Dalam
aliran gereja yang kecil itu pun Pdt. Perronet sukar menyetujui cara-cara
saudara seimannya. Karena itu ia memutuskan untuk keluar dari segala macam
aliran gereja. Selanjutnya ia melayani di sebuah jemaat kecil yang berdikari,
lepas dari ikatan gereja mana pun.
Jiwa
Edward Perronet ingin bebas dari penguasaan manusia mana pun. Ia hanya rela
tunduk kepada Yesus Kristus. Ia menggunakan bakatnya untuk menulis syair-syair
rohani yang indah.
Pemuda
yang Pandai Musik
Gereja kecil yang digembalakan oleh Pdt. Edward Perronet
tidak jauh letaknya dari salah satu katedral Gereja Inggris yang terbesar. Ada
seorang anak remaja yang menjadi anggota koor pria di katedral itu. Ia menjadi
sahabat karib “pendeta bebas” tersebut.
Pada
tahun 1779 aa syair karangan Edward Perronet yang diterbitkan dalam sebuah
majalah Kristen. Musiknya disusun oleh William Shrubsole, demikian nama anak
remaja tadi, William menggubah melodi itu pada saat ia coba-coba main orgel
besar di katedral.
Lagu
itu pendek saja, hanya satu bait. Tetapi pada tahun berikutnya lagu tersebut
diterbitkan kembali dengan delapan bait. Pada tahun 1787, lagu itu digubah oleh
John Rippon, seorang pendeta gereja Baptis (1751-1836). Lagu pujian yang
kemudian menjadi terkenal di mana-mana itu sebenarnya merupakan hasil
peredaksian Pdt. Rippon. Bait terakhirnya ditambahkan oleh redakturnya sendiri.
Pada
tahun 1792, Edward Perronet meninggal dunia. Dalam surat wasiatnya ia menunjuk
William Shrubsole , pemuda tadi, sebagai pengurus warisannya. Tetapi warisan
rohani yang diturunkan oleh Pdt. Perronet kepada seluruh umat Kristen jauh
lebih besar daripada segala warisan yang diurus oleh sahabat karibnya, Wiliam
Shrubsole.
Melodinya
Ada Tiga
Ada banyak syair nyanyian rohani yang dipasangkan dengan
lebih dari satu melodi Tetapi jarang ada syair nyanyian rohani yang dipasangkan
dengan tiga melodi. Apalagi kalau ketiga melodi itu semuanya bagus,
masing-masing digubah khusus untuk syair tersebut, dan masing-masing masih
dinyanyikan oleh umat Kristen hingga kini, baik di Indonesia maupun di seluruh
dunia.
Kepopuleran
ketiga gubahan melodi untuk :Lagu Penobatan Yesus Kristus” itu dapat dinilai
berdasarkan fakta berikut ini : lagu tersebut dimuat sebanyak 28 kali dalam kumpulan
buku nyanyian. Di antarana , enam kali
memakai melodi pertama, dua belas kali memakai melodi kedua, dan delapan kali
memakai melodi ketiga.
Melodi
pertama digubah oleh Wiliam Shrubsole, yang tadi disebut-diseubt sebagai sahabat karib penulis syair, Edward Perronet.
Shrubsole lahir pada tahun 1760. Jadi, ia baru berumur 19 tahun pada saat ia
menciptakan melodi itu.
Setelah
menyanyi sebagai anggota koor di katedral besar Gereja Inggris, Shrubsole
diminta menjadi pemain orgel di katedral lainnya walau umurnya baru 22 tahun.
Rupanya ia terpengaruh kepercayaan temannya, Pdt. Perronet. Ia mulai menganut
pendapat yang bertentangan dengan ajaran Gereja Inggris. Dua tahun kemudian, ia
dipecat dari jabatannya.
Selanjutnya,
Shrubsole mencari nafkah sebagai tukang pembuat kapal, juru tuis bank,
sekretaris, dan guru music. Secara sukarela ia melayani jemaat-jemaat di luar
Gereja Inggris. Ketika ia meninggal pada tahun 1806, beberapa not dari melodinya
untuk “Lagu Penobatan Yesus Kristus” diukir di batu nisannya.
Melodi
gubahan William Shrubsole masih tetap paling terkenal di gereja-gereja
mengutamakan liturgy – seperti misalnya Gereja Inggris, atau jemaat-jemaat di
Indonesia yang menggunakan buku Mazmur dan Nyanyian Rohani. Akan tetapi, ada
dua melodi lainnya yang menjadi lebih popular di gereja-gereja yang lebih bebas
tata cara ibadahnya.
Penggubah
Melodi Kedua dan Ketiga
Oliver Holden lahir di Amerika Utara pada tahun 1765.
Ketika masih muda, ia bekerja sebagai tukang kayu, membangun kembali sebuah
kota yang dibumihanguskan oleh penjajah Inggris dalam perang kemerdekaan
Oliver
Holden juga menjadi seorang ahli music walau ia belajar sendiri tanpa guru.
Ketika Presiden George Washington mengadakan kunjungan kenegaraan ke kota
Boston pada tahun 1798, pemuda itulah yang ditunjuk untuk menyiapkan paduan
suara pria serta mengubah melodi khusus untuk menghormati kepala negara Amerika
Serikat yang pertama.
Pada
tahun 1792 Oliver Holden menggubah melodi baru
untuk syair rohani karangan Edward Perronet. Saat itu ia baru saja
dikaruniai seorang putri kecil. Mungkin itulah yang menyebabkan melodi
gubahannya bernada gembira. Hasil karyanya lebih mudah dinyanyikan oleh sidang
jemaat daripada lagu Shrubsole dan cepat menjadi termasyur.
Oliver
Holden kemudian menjadi seorang pedagang yang kaya, seorang negarawan, dan
seorang penyusun dan penerbit kumpulan nyanyian rohani. Selepas kematiannya
pada tahun 1844, beberapa kata dari “Lagu Penobatan Yesus Kristus” diukur di
batu nisannya.
Penggubah
melodi ketiga, James Ellor, lahir di negeri Inggris pada tahun 1819. Sebagai
anak muda yang tidak suka tinggal diam, ia belajar menjadi tukang pembuat topi.
Ketika ia berusia belasan tahun, ia menjadi pemimpin music di sebuah gereja
kecil, Gereja Methodist.
Pada
usia 19 tahun – sama seperti William Shrubsole dulu – James Ellor menggubah
sebuah melodi untuk syair rohani karangan Edward Perronet. Ia membawanya ke
pabrik topi. Teman-teman sekerjanya suka sekali dengan melodi baru itu. Melodi
itu dinyanyikan pada perayaan hari ulang tahun Sekolah Minggu di gereja kecil
tadi, dan selanjutnya menjadi terkenal.
James
Ellor kemudian bekerja di perusahaan kereta api, lalu pindah ke Amerika
Serikat, dan kembali menjadi tukang topi. Bertahun-tahun sebelum meninggal pada
tahun 1899, ia nyaris buta.
Seperti
Teka-Teki
Puluhan tahun lamanya tidak diketahui dengan pasti, siapa
pengarang kata-kata yang melodinya sudah dinyanyikan di mana-mana itu. Sebabnya
mengapa hal itu menjadi rahasia : Edwar Perronet bertengkar dengan para
pemimpin gerakan Wesley, maka mereka tidak mau memakai hasil karya Edward.
Itulah sebabnya Pdt. Perronet sering menerbitkan hasil karyanya dengan nama samaran,
bahkan tanpa nama.
Pada
suatu hari, 126 tahun sessudah “Lagu Penobatan Yesus Kristus” terbit, seorang
ahli sejarah music rohani menyelidiki sebuah buku kuno yang kecil. Tiba-tiba ia
sadar bahwa salah satu syair dalam buku itu merupakan akrostik dari huruf-huruf
E-D-W-A-R-D P-E-R-R-O-N-E-T. Baris
pertama dari syair itu dimulai dengan huruf E., baris kedua dengan huruf D, dan
seterusnya.
Berdasarkan
penemuan itu, ahli sejarah music itu tahu bahwa Edward Perronetlah yang
mengarang buku nyanyian kecil tersebut. Salah satu lagu dalam buku itu adalah “Lagu
Penobatan Yesus Kristus” yang sudah lama dicari-cari siapa pengarang syairnya.
Edward
Perronet tidak peduli, apakah ia dihormati sebagai pengarang nyanyian itu atau
tidak. Yang penting, Tuhan Yesus dihormati sebagai Raja.
Lagu
karangan Edward Perronet sudah berkali-kali dilantunkan dalam pertemuan akbar
umat Kristen, misalnya, di kongres Persektuan Baptis Sedunia yang diadakan lima
tahun sekali. Bahkan di Tokyo, di Rio de Janeiro, di London, di Toronto, maupun
di kota-kota lainnya, lagu pilihan itu sudah biasa dinyanyikan untuk membuka
acara perkumpulan umat Baptis sedunia. Para delegasi mengenakan pakaian
kebangsaan mereka masing-masing. Secara bersamaan , mereka menyanyikan yang
berikut ini dalam berbagai bahasa :
“Segala
bangsa di dunia,
Setiap
makhluknya,
Gemakan
puji kuasaNya
Nobatkan
Rajamu!”
Sambil mengumandangkan “Lagu Penobatan
Yesus Kristus” mereka semua memadukan suara, memuji-muji Sang Raja Surgawi.
__________________________________________________________________________________________
All Hail the Power of Jesus' Name
From Wikipedia, the free encyclopedia
"All Hail the Power of Jesus'
Name" is a popular hymn sung by many Christian denominations.
The hymn is often called the "National
Anthem of Christendom.".[1] The lyrics, written by Edward Perronet while
he served as a missionary in India, first appeared in the November, 1779 issue
of the Gospel Magazine, which was edited by the author of "Rock of
Ages", Augustus Toplady. The text has been translated into almost every
(if not every) language in which Christianity is known.
The best-known tunes used for the hymn
are "Coronation" (Oliver Holden, 1793) and "Miles Lane"
(William Shrubsole, 1779), with "Diadem" (James Ellor, 1838) the
favoured one in Australia, but there are a number of others. "Diadem"
is also the most favoured tune sung as a choir number.
The song was heavily altered for the
Unitarian hymnal, which was also licensed to the hymnal of the Unity Church:
"All Hail the Power of Truth to Save from Error's Binding Thrall."
Lyrics
[2]
All hail the power of Jesus' name!
Let angels prostrate fall;
bring forth the royal diadem,
and crown Him Lord of all.
Bring forth the royal diadem,
and crown Him Lord of all.
Ye chosen seed of Israel's race,
ye ransomed from the Fall,
hail Him who saves you by His grace,
and crown Him Lord of all.
Hail Him who saves you by His grace,
and crown Him Lord of all.
Sinners, whose love can ne'er forget
the wormwood and the gall,
go spread your trophies at His feet,
and crown Him Lord of all.
Go spread your trophies at His feet,
and crown Him Lord of all.
Let every kindred, every tribe
on this terrestrial ball,
to Him all majesty ascribe,
and crown Him Lord of all.
To Him all majesty ascribe,
and crown Him Lord of all.
(Alternate wording to the above verse)
Let every tribe and every tongue
before Him prostrate fall
And shout in universal song
the crownèd Lord of all.
And shout in universal song
the crownèd Lord of all.
No comments:
Post a Comment