Friday, January 25, 2013

Terpujilah Nama Yesus (All Hail the Power of Jesus’ Name)





Terpujilah Nama Yesus
All Hail the Power of Jesus’ Name
(Lagu Penobatan Yesus Kristus)

Kisah Nyata di Balik Lagu Pilihan
Disusun kembali oleh : Andreas Sudarsono, Doreen Widjana
Diterbitkan dan dicetak oleh : Lembaga Literatur Baptis (Yayasan Baptis Indonesia)

Adakah lagu yang lebih luhur temanya daripada lagu yang dikisahkan? Tentu tidak ada. Intisari lagu pilihan ini ialah penobatan (pengakuan) Yesus Kristus sebagai “Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan” (Wahyu 19:16). Siapakah pengarang lagu pujian yang agung ini?

Ia Tidak Mau Terikat
                Edward Perronet adalah seorang Inggris keturunan Peranis. Orang tuanya mengungsi ke Inggris untuk memperoleh kebebasan beragama. Ketika Edward Perronet lahir, yaitu  pada tahun 1726, ayahnya sudah menjadi seorang pendeta Gereja Inggris. Jadi, Edward dibesarkan dalam aliran Gereja Negara.
                Sama seperti nenek moyangnya di Perancis dahulu, Edward Perronet tidak mau terikat dengan agama. Ia hanya mau mengakui satu atasan rohani saja, yaitu Yesus Kristus.
                Ketika John dan Chrales Wesley mulai mengadakan suatu gerakan pembaruan di kalangan Gereja Inggris, dengan senang hati Edward Perronet ikut serta. Bahkan ketika gerakan Wesley itu mulai diserang oleh musuh-musuhnya, Perronet rela menderita demi keyakinanna. Dalam buku harian John Wesley terdapat catatan ini:
                “Edward Perronet diseret dari kuda tunggangannya dan digulig-gulingkan dalam lumpur. Ia mengalami banyak siksaan, juga dilumuri banyak kotoran, tetapi semua aniaya itu diterima dengan penuh ketabahan.”
                Walau Edward Perronet begitu sabar terhadap penganiayan yang timbul karena ia menjadi pengikut Gerakan Pembaruan Wesley, ia tidak dapat menerima semua ajaran dan peraturan yang ditetapkan oleh para pemimpin gerakan Wesley. Ia berpendapat bahwa mereka sebaiknya keluar saja dari Gereja Negara dan membentuk suatu aliran baru.
                John Wesley tidak setuju. (Anehnya, hal itu dilaksanakan di kemudian hari. Muncullah Gereja Methodist yang dimulai ole hkedua Wesley bersaudara dan kawan-kawan.) Karena berselisih pendapat, Edward Perronet akhirnya memutuskan hubungan dengan Gerakan Wesley. Kemudian ia menggabungkan diri dengan sebuah aliran Kristen yang lebih kecil.
                Dalam aliran gereja yang kecil itu pun Pdt. Perronet sukar menyetujui cara-cara saudara seimannya. Karena itu ia memutuskan untuk keluar dari segala macam aliran gereja. Selanjutnya ia melayani di sebuah jemaat kecil yang berdikari, lepas dari ikatan gereja mana pun.
                Jiwa Edward Perronet ingin bebas dari penguasaan manusia mana pun. Ia hanya rela tunduk kepada Yesus Kristus. Ia menggunakan bakatnya untuk menulis syair-syair rohani yang indah.

Pemuda yang Pandai Musik
                Gereja kecil yang digembalakan oleh Pdt. Edward Perronet tidak jauh letaknya dari salah satu katedral Gereja Inggris yang terbesar. Ada seorang anak remaja yang menjadi anggota koor pria di katedral itu. Ia menjadi sahabat karib “pendeta bebas” tersebut.
                Pada tahun 1779 aa syair karangan Edward Perronet yang diterbitkan dalam sebuah majalah Kristen. Musiknya disusun oleh William Shrubsole, demikian nama anak remaja tadi, William menggubah melodi itu pada saat ia coba-coba main orgel besar di katedral.
                Lagu itu pendek saja, hanya satu bait. Tetapi pada tahun berikutnya lagu tersebut diterbitkan kembali dengan delapan bait. Pada tahun 1787, lagu itu digubah oleh John Rippon, seorang pendeta gereja Baptis (1751-1836). Lagu pujian yang kemudian menjadi terkenal di mana-mana itu sebenarnya merupakan hasil peredaksian Pdt. Rippon. Bait terakhirnya ditambahkan oleh redakturnya sendiri.
                Pada tahun 1792, Edward Perronet meninggal dunia. Dalam surat wasiatnya ia menunjuk William Shrubsole , pemuda tadi, sebagai pengurus warisannya. Tetapi warisan rohani yang diturunkan oleh Pdt. Perronet kepada seluruh umat Kristen jauh lebih besar daripada segala warisan yang diurus oleh sahabat karibnya, Wiliam Shrubsole.

Melodinya Ada Tiga
                Ada banyak syair nyanyian rohani yang dipasangkan dengan lebih dari satu melodi Tetapi jarang ada syair nyanyian rohani yang dipasangkan dengan tiga melodi. Apalagi kalau ketiga melodi itu semuanya bagus, masing-masing digubah khusus untuk syair tersebut, dan masing-masing masih dinyanyikan oleh umat Kristen hingga kini, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia.
                Kepopuleran ketiga gubahan melodi untuk :Lagu Penobatan Yesus Kristus” itu dapat dinilai berdasarkan fakta berikut ini : lagu tersebut dimuat sebanyak 28 kali dalam kumpulan buku  nyanyian. Di antarana , enam kali memakai melodi pertama, dua belas kali memakai melodi kedua, dan delapan kali memakai melodi ketiga.
                Melodi pertama digubah oleh Wiliam Shrubsole, yang tadi disebut-diseubt sebagai  sahabat karib penulis syair, Edward Perronet. Shrubsole lahir pada tahun 1760. Jadi, ia baru berumur 19 tahun pada saat ia menciptakan melodi itu.
                Setelah menyanyi sebagai anggota koor di katedral besar Gereja Inggris, Shrubsole diminta menjadi pemain orgel di katedral lainnya walau umurnya baru 22 tahun. Rupanya ia terpengaruh kepercayaan temannya, Pdt. Perronet. Ia mulai menganut pendapat yang bertentangan dengan ajaran Gereja Inggris. Dua tahun kemudian, ia dipecat dari jabatannya.
                Selanjutnya, Shrubsole mencari nafkah sebagai tukang pembuat kapal, juru tuis bank, sekretaris, dan guru music. Secara sukarela ia melayani jemaat-jemaat di luar Gereja Inggris. Ketika ia meninggal pada tahun 1806, beberapa not dari melodinya untuk “Lagu Penobatan Yesus Kristus” diukir di batu nisannya.
                Melodi gubahan William Shrubsole masih tetap paling terkenal di gereja-gereja mengutamakan liturgy – seperti misalnya Gereja Inggris, atau jemaat-jemaat di Indonesia yang menggunakan buku Mazmur dan Nyanyian Rohani. Akan tetapi, ada dua melodi lainnya yang menjadi lebih popular di gereja-gereja yang lebih bebas tata cara ibadahnya.

Penggubah Melodi Kedua dan Ketiga
                Oliver Holden lahir di Amerika Utara pada tahun 1765. Ketika masih muda, ia bekerja sebagai tukang kayu, membangun kembali sebuah kota yang dibumihanguskan oleh penjajah Inggris dalam perang kemerdekaan
                Oliver Holden juga menjadi seorang ahli music walau ia belajar sendiri tanpa guru. Ketika Presiden George Washington mengadakan kunjungan kenegaraan ke kota Boston pada tahun 1798, pemuda itulah yang ditunjuk untuk menyiapkan paduan suara pria serta mengubah melodi khusus untuk menghormati kepala negara Amerika Serikat yang pertama.
                Pada tahun 1792 Oliver Holden menggubah melodi baru  untuk syair rohani karangan Edward Perronet. Saat itu ia baru saja dikaruniai seorang putri kecil. Mungkin itulah yang menyebabkan melodi gubahannya bernada gembira. Hasil karyanya lebih mudah dinyanyikan oleh sidang jemaat daripada lagu Shrubsole dan cepat menjadi termasyur.
                Oliver Holden kemudian menjadi seorang pedagang yang kaya, seorang negarawan, dan seorang penyusun dan penerbit kumpulan nyanyian rohani. Selepas kematiannya pada tahun 1844, beberapa kata dari “Lagu Penobatan Yesus Kristus” diukur di batu nisannya.
                Penggubah melodi ketiga, James Ellor, lahir di negeri Inggris pada tahun 1819. Sebagai anak muda yang tidak suka tinggal diam, ia belajar menjadi tukang pembuat topi. Ketika ia berusia belasan tahun, ia menjadi pemimpin music di sebuah gereja kecil, Gereja Methodist.
                Pada usia 19 tahun – sama seperti William Shrubsole dulu – James Ellor menggubah sebuah melodi untuk syair rohani karangan Edward Perronet. Ia membawanya ke pabrik topi. Teman-teman sekerjanya suka sekali dengan melodi baru itu. Melodi itu dinyanyikan pada perayaan hari ulang tahun Sekolah Minggu di gereja kecil tadi, dan selanjutnya menjadi terkenal.
                James Ellor kemudian bekerja di perusahaan kereta api, lalu pindah ke Amerika Serikat, dan kembali menjadi tukang topi. Bertahun-tahun sebelum meninggal pada tahun 1899, ia nyaris buta.

Seperti Teka-Teki
                Puluhan tahun lamanya tidak diketahui dengan pasti, siapa pengarang kata-kata yang melodinya sudah dinyanyikan di mana-mana itu. Sebabnya mengapa hal itu menjadi rahasia : Edwar Perronet bertengkar dengan para pemimpin gerakan Wesley, maka mereka tidak mau memakai hasil karya Edward. Itulah sebabnya Pdt. Perronet sering menerbitkan hasil karyanya dengan nama samaran, bahkan tanpa nama.
                Pada suatu hari, 126 tahun sessudah “Lagu Penobatan Yesus Kristus” terbit, seorang ahli sejarah music rohani menyelidiki sebuah buku kuno yang kecil. Tiba-tiba ia sadar bahwa salah satu syair dalam buku itu merupakan akrostik dari huruf-huruf E-D-W-A-R-D  P-E-R-R-O-N-E-T. Baris pertama dari syair itu dimulai dengan huruf E., baris kedua dengan huruf D, dan seterusnya.
                Berdasarkan penemuan itu, ahli sejarah music itu tahu bahwa Edward Perronetlah yang mengarang buku nyanyian kecil tersebut. Salah satu lagu dalam buku itu adalah “Lagu Penobatan Yesus Kristus” yang sudah lama dicari-cari siapa pengarang syairnya.
                Edward Perronet tidak peduli, apakah ia dihormati sebagai pengarang nyanyian itu atau tidak. Yang penting, Tuhan Yesus dihormati sebagai Raja.
                Lagu karangan Edward Perronet sudah berkali-kali dilantunkan dalam pertemuan akbar umat Kristen, misalnya, di kongres Persektuan Baptis Sedunia yang diadakan lima tahun sekali. Bahkan di Tokyo, di Rio de Janeiro, di London, di Toronto, maupun di kota-kota lainnya, lagu pilihan itu sudah biasa dinyanyikan untuk membuka acara perkumpulan umat Baptis sedunia. Para delegasi mengenakan pakaian kebangsaan mereka masing-masing. Secara bersamaan , mereka menyanyikan yang berikut ini dalam berbagai bahasa :
                “Segala bangsa di dunia,
                Setiap makhluknya,
                Gemakan puji kuasaNya
                Nobatkan Rajamu!”
Sambil mengumandangkan “Lagu Penobatan Yesus Kristus” mereka semua memadukan suara, memuji-muji Sang Raja Surgawi.
__________________________________________________________________________________________

 
All Hail the Power of Jesus' Name
From Wikipedia, the free encyclopedia

"All Hail the Power of Jesus' Name" is a popular hymn sung by many Christian denominations.

The hymn is often called the "National Anthem of Christendom.".[1] The lyrics, written by Edward Perronet while he served as a missionary in India, first appeared in the November, 1779 issue of the Gospel Magazine, which was edited by the author of "Rock of Ages", Augustus Toplady. The text has been translated into almost every (if not every) language in which Christianity is known.

The best-known tunes used for the hymn are "Coronation" (Oliver Holden, 1793) and "Miles Lane" (William Shrubsole, 1779), with "Diadem" (James Ellor, 1838) the favoured one in Australia, but there are a number of others. "Diadem" is also the most favoured tune sung as a choir number.

The song was heavily altered for the Unitarian hymnal, which was also licensed to the hymnal of the Unity Church: "All Hail the Power of Truth to Save from Error's Binding Thrall."
Lyrics

[2]
All hail the power of Jesus' name!
Let angels prostrate fall;
bring forth the royal diadem,
and crown Him Lord of all.
Bring forth the royal diadem,
and crown Him Lord of all.

Ye chosen seed of Israel's race,
ye ransomed from the Fall,
hail Him who saves you by His grace,
and crown Him Lord of all.
Hail Him who saves you by His grace,
and crown Him Lord of all.

Sinners, whose love can ne'er forget
the wormwood and the gall,
go spread your trophies at His feet,
and crown Him Lord of all.
Go spread your trophies at His feet,
and crown Him Lord of all.

Let every kindred, every tribe
on this terrestrial ball,
to Him all majesty ascribe,
and crown Him Lord of all.
To Him all majesty ascribe,
and crown Him Lord of all.

(Alternate wording to the above verse)
Let every tribe and every tongue
before Him prostrate fall
And shout in universal song
the crownèd Lord of all.
And shout in universal song
the crownèd Lord of all.




No comments:

Post a Comment